Review Film Spider-Man: Across the Spider-Verse (2023)

0
229
Review FIlm Spider-Man: Across the Spider-Verse (2023)

Setelah mendobrak batas film pahlawan super dan animasi dalam Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018), Sony melanjutkan kisah pahlawan super animasinya. Rasanya, batasan-batasan yang tinggi sudah dicapai oleh film pertamanya. Namun, dengan kejutan hebat, film Spider-Man: Across the Spider-Verse kembali meninggikan batasan tersebut.

Into the Spider-Verse bak anomali dalam dunia yang saat itu sedang semangat-semangatnya dengan film pahlawan super dan adaptasi dari animasi ke aksi nyata. Awalnya kita menduga film animasi Spider-Man ini hanyalah akal-akalan Sony yang ingin memeras terus hak cipta Spider-Man miliknya, melihat dari kemunculan film Venom pada tahun yang sama.

Nyatanya tidak, film ini memberikan cerita yang sangat berbeda dari materi asalnya: mengubah karakter utama Spider-Man-nya, lalu bertualang di ranah multisemesta yang saat itu masih belum populer. Takhanya berhenti di situ, mereka pun menciptakan animasi yang sangat brilian, keluar dari pakem tiga dimensi yang membosankan dan bermain dengan seni pop yang indah. Film ini layaknya kesempurnaan alih wahana dari komik dengan nuansa yang sangat segar.

Across the Spider-Verse Mendorong Lagi Batasan Tinggi Itu

Ketika rencana sekuelnya dipaparkan, kita bertanya-tanya: apa lagi yang dapat dicapai dengan film sebagus Into the Spider-Verse? Ada ketakutan bahwa kualitasnya akan merosot jauh dan film ini berubah menjadi saga penarik uang saja. Belum lagi, jajaran sutradaranya dirombak, jauh berbeda dengan film pertamanya. Namun, dugaan itu nyatanya salah.

Jika ada batasan yang sangat tinggi yang telah didorong oleh Into the Spider-Verse, Across the Spider-Verse mendorong lebih jauh lagi batasan tersebut. Pencapaian itu benar-benar mengejutkan dan kualitas filmnya benar-benar mencengangkan. Elemen-elemen film ini dimainkan dengan begitu sempurna.

Sejak adegan awal, kita telah digebrak dengan perkenalan ulang karakter Gwen (disuarakan oleh Hailee Steinfeld). Gwen memainkan drum dan setiap suntingannya, pergerakan tiap gambarnya, dan gambaran visualnya sangat padu dengan alunan musiknya. Kita teringat lagi kepada kepaduan film Whiplash dalam memadukan hentakan drum dan adegannya. Nyatanya, keindahan film ini takberhenti di situ.

Bergerak maju ke adegan pertempuran pertama, perangkaian adegannya benar-benar di luar nalar. Hampir belum ada film animasi sebelumnya yang bisa dengan hebat mencampurkan aksi, musik, dengan tempo yang begitu selaras. Bahkan, menemukan film aksi nyata yang punya paduan musik yang apik saja sangat langka. Semua unsur-unsur ini terus bermain, berdansa, bergelimang, dan menendang kita untuk terjaga di kursi bioskop.

Dengan kesempurnaan pada awal film seperti ini, rasanya takmasuk akal jika kesempurnaan adegan aksinya bisa terjaga. Bagaimanapun, tiap adegan aksi ternyata terus lebih baik dan terus lebih baik lagi sehingga membuat kepala Anda benar-benar meledak kagum akan kehebatannya. Kegilaan indah yang tiada henti.

“Nila setitik ternyata takterlalu merusak multi-semesta”

Menyaksikan film ini dengan memahami bahwa akan ada lanjutannya lagi dalam Beyond the Spider-Verse yang rilis tahun depan memang membuat kita sadar bahwa akhirannya akan dibuat menggantung. Namun, akhiran film ini mungkin terlalu menggantung. Pemotongannya layaknya episode dalam serial yang terlalu sengaja membuat penasaran sehingga kita akan tetap menyaksikannya pekan depan. Sayangnya, bagi film ini, kita harus menunggu jauh lebih lama dan akhiran seperti ini mengecewakan.

Nila setitik itu mungkin sedikit merusak “multisemesta sebelanga”, tetapi taksecara keseluruhan menghancurkan filmnya. Tentu saja perihal teknis, film ini hampir tiada tara. Jika memang film animasi diapresiasi dan dikompetisikan dalam bidang-bidang teknis Oscar, film ini bisa mendominasi.

Belum lagi, penulisan kisahnya takkalah menarik. Kita lebih diperkenalkan kepada kompleksitas karakter Gwen dalam membuka identitasnya kepada ayahnya yang seorang polisi. Bersama Miles (Shameik Moore), film ini memberikan kompleksitas baru perkara relasi dan dinamika seorang pahlawan super dengan orang tuanya. Perkara menampilkan identitas secara utuh kepada orang tua ini merupakan isu yang tepat yang hadir dalam film ini untuk dibahas, terutama kepada remaja. Dengan seabrek elemen hebat ini rasanya sangat disayangkan jika kita melewatkan Across the Spider-Verse hanya disebabkan untuk melawan kapitalisme perusahaan film yang terus menyedot kocek penontonnya lewat saga. Film animasi Spider-Man ini merupakan film yang brilian. Jika diminta menanti untuk melihat kisah akhirnya, setidaknya Sony telah memberikan yang lebih dari maksimal untuk membuat penantian itu sepadan.

Infografik Review Film Spider-Man: Across the Spider-Verse (2023) oleh ulasinema

Baca juga: Review Film Everything Everywhere All at Once (2022)

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan