Review Film Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 (2020)

0
2809
sebelum iblis menjemput ayat 2

Seperti layaknya sebuah sekuel, Timo Tjahjanto dalam Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 coba memperbaiki apa yang kurang dari film pertamanya. Uniknya, ia tidak mencoba untuk membuat skala yang lebih masif, seperti pertaruhan yang lebih besar dan musuh yang lebih sulit ditaklukkan. Bahkan, di beberapa aspek penting, banyak kekurangan film pertama yang berulang.

Melanjutkan kisah Alfie (Chelsea Islan) dan Nara (Hadijah Shahab) yang selamat dari film pertama, mereka pun hidup bersama. Alfie menjadi semakin gelisah dan begitu protektif terhadap Nara. Tiba-tiba ia diculik oleh sekelompok anak muda yang meminta pertolongan.

Alfie dan Nara dibawa ke rumah yatim-piatu antah-berantah oleh orang-orang yang menculiknya, yang ternyata mantan penghuni rumah tersebut. Dikisahkan mereka diperlakukan kasar dan akan dijadikan tumbal oleh penjaga rumah yatim-piatu bernama Ayub tersebut. Tidak terima dengan hal tersebut, mereka pun membunuh Ayub.

Pondasi yang Tidak Kuat

Shareefa Danish, Arya Vasco, Chelsea Islan, Widika Sidmore, Baskara Mahendra, Lutesha dan Hadijah Shahab dalam Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2

Diculik dengan cara yang tidak lazim, yaitu karena alasan meminta tolong, jelas Alfie akan marah. Namun, setelah pertikaian dan pergolakan, tiba-tiba Alfie membantu mereka. Alfie dirasa dapat membantu mereka sebab wanita muda ini pernah bersinggungan dengan hal “seperti itu”, yaitu kejadian pada film pertama.

Alasan kuat Alfie untuk membantu sekelompok orang-orang dewasa muda ini rasanya tidak diartikulasikan dengan baik. Alfie tiba-tiba membantu, mau saja berkecimpung lagi dengan hal yang telah meneror hidupnya selama bertahun-tahun. Apalagi, ia belum begitu kenal dengan orang-orang yang datang dengan menculik mereka dan meminta tolong tanpa adanya percobaan untuk berbicara baik-baik.

Dari hal di atas, pondasi plot film ini begitu lemah. Sama seperti film pertamanya yang tayang dua tahun lalu, saat membangun pondasi cerita belum utuh, teror sudah dimulai saja. Bahkan, sejak awal sudah diteror dengan cara-cara film horor yang biasa, jumpscare atau kejutan yang dapat ditebak dan diulang berkali-kali.

Pasalnya, teror ini terus berlanjut dan para pemainnya menjadi tergesa-gesa dalam memecahkan masalah demi masalah. Ketergesa-gesaan ini pun membuat penonton juga menjadi lelah dan sulit menangkap dialog teriak-teriak dengan artikulasi yang berantakan. Belum lagi, skoring yang rasanya ingin terus membuat teror sehingga penonton kurang nyaman. Sekitar 100 menit lebih kita harus menanggung teror ini tanpa dikasih ruang untuk bernapas normal.

Ketergesa-gesaan ini pun terjadi juga di film pertama; pemecahan masalah yang tidak jelas ini membuat pondasi yang dibangun itu pun dapat runtuh dengan mudah. Padahal, ada beberapa hal yang dapat dikembangkan jauh lebih baik dalam film ini. Misalnya, penceritaan folklor mengenai dunia periblisan, pertumbalan, dan sihir yang ada dalam dunia Sebelum Iblis Menjemput ini. Hal-hal itu kurang konkret dibahas dalam film pertama dan kedua, seperti disimpan untuk ditumpahkan dalam film ketiga.

Hanya Ingin Bersenang-Senang

Hadijah Shahab sebagai Nara dalam Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2

Hal-hal tersebut berujung pada pertanyaan pada penulisan skenario Timo Tjahjanto. Ia memang terlihat melakukan riset, seperti membahas dunia satanik seperti film-film luar, menggunakan istilah seperti sindrom Stockholm dan menggunakan gaya Sam Raimi. Disayangkan semuanya terasa tanggung. Pondasi yang mengundang konflik terasa tidak berguna, karena Tjahjanto sepertinya ingin bersenang-senang saja dalam meneror penonton.

Sejak awal kita diberi tahu bagaimana Ayub bisa dihentikan, tetapi cara jelasnya tidak diberi tahu. Tulisan-tulisan dengan bahasa satanik tersebut pun tidak dijelaskan muatannya apa, hanya diberi tahu korelasinya apa tanpa ada penjelasan yang teknis. Selain itu, penggunaan sindrom Stockholm, yaitu sindrom yang terjadi saat seseorang justru merasa lebih senang menjadi tawanan, kurang dijelaskan dengan baik.

Gaya Raimi yang digunakan sebenarnya cukup menarik. Sinematografi yang nyeleneh serta penuansaan film ini bisa dibilang sangat apik. Hanya saja, salah satu gaya Raimi, yaitu akting pemeran yang lebay seperti horor klasik tidak dieksekusi dengan baik. Ada karakterisasi yang kurang selaras, para karakter terlihat serius dan kaku saat berbicara, tetapi ketika ketakutan diajak lebay se-lebay-lebay-nya.

Penyelesaiannya pun terasa tidak berkorelasi dengan apa yang dibangun dalam cerita. Seperti tidak benar-benar diselesaikan, tiba-tiba selesai saja. Semuanya tidak diambil dengan langkah demi langkah yang jelas, hanya sebab-akibat dengan dasar insting atau mungkin wahyu yang datang entah dari mana.

Di tengah kekacauan-kekacauan ini, sebenarnya ada hal-hal menarik yang mungkin dapat dinikmati jika Anda pencinta horor yang tidak begitu peduli dengan cerita. Nikmati saja pengemasan horor yang bisa dibilang baik walau kejutan-kejutannya dapat ditebak. Efek visualnya, walaupun lemah di beberapa bagian, tetap dapat dinikmati karena pemberian pewarnaan yang pas. Menonton Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 memang cukup menikmati saja apa yang bisa dinikmati.

Baca juga: Review Film Milea: Suara dari Dilan (2020)

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan