Review Film Monos (2019): Cekaman di Atas Awan hingga Belantara Hutan

0
2884
Review Film Monos (2019) ulasinema

Ada cekaman aneh yang diciptakan sineas asal Kolombia, Alejandro Landes dalam film Monos. Momen-momen kegilaan yang terjadi di atas awan hingga belantara hutan Kolombia memberikan perasaan gelisah tanpa henti. Rasa gelisah bertambah dengan karakter-karakter remaja labil.

Di ketinggian pegunungan Kolombia, sekelompok tentara remaja dilatih dan ditugaskan untuk menjaga tawanan dari Amerika Serikat. Kelompok remaja tersebut diberi nama Monos, dipimpin oleh Lobo (Julián Giraldo) dan diikuti oleh Rambo (Sofia Buenaventura), Leidi (Karen Quintero), Sueca (Laura Castrillón), Pitufo (Deiby Rueda), Pero (Paul Cubides), Bum Bum (Sneider Castro) dan Patagrande (Moises Arias). Tawanan Amerika Serikat yang harus mereka jaga, yakni Doctora Sara Watson (Julianne Nicholson).

Selain ditugaskan menjaga Doctora, Monos juga diminta menjaga sapi perah untuk konsumsi mereka sehari-harinya oleh Organization. Organization digambarkan sebagai pihak tinggi yang memiliki otoritas besar dan berseteru dengan Amerika Serikat. Pihak Organization mengirim Mensajero (Wilson Salazar) yang sesekali akan mengawasi para tentara remaja tersebut.

Bara Para Remaja

Landes menggambarkan Monos sebagai para remaja emosional yang labil. Bukan hanya dalam perkara tempramen dan mudah marah, tetapi lebih terlihat pada teriakan-teriakan mereka yang melebih-lebihkan emosi. Selain amarah, ada juga teriak senang yang berlebihan; ada bara yang meluap-luap hampir di semua tokohnya.

Bara ini tidak hanya dalam sisi emosi amarah, gembira, sedih dan gelisah saja. Ada juga nafsu remaja yang jelas tergambar. Walaupun ada keketatan dalam menjalin hubungan asmara, seperti layaknya Leidi yang harus meminta izin untuk berpacaran dengan Lobo, hawa nafsu besar remaja mereka tidak tertahankan. Sisi erotis ini dipermainkan Lando tidak hanya dalam tokoh-tokoh remajanya saja, tetapi ditampilkan juga dalam sosok Doctora.

Julianne Nicholson beradu peran dengan para remaja dalam film Monos.

Unsur erotis yang ditampilkan dalam film ini menjadi pertentangan dari kekerasan yang mereka lakukan. Dalam catatan pers film Monos, Landes menggambarkan sekelompok remaja ini sebagai Kolombia. Seperti layaknya grup Monos, Kolombia merupakan negara yang masih muda, masih mencari identitasnya dan masih sangat rentan.

Jika memang Monos mencerminkan Kolombia, unsur erotis dalam film lebih terarah. Kolombia dikenal sebagai negara yang erotis. Dari studi pada para mahasiswa Universidad del Valle pada tahun 2008—2009, terbukti rata-rata hubungan seks pertama mereka pada usia 16 tahun. Namun, bagi penonton awam, agak sulit menangkap tujuan unsur erotis yang cukup intens ditampilkan dalam film. Pasalnya, unsur ini terlihat hanya menjadi elemen pemanis dari masa muda, dengan intensitas yang cukup tinggi, tetapi tujuannya kurang pasti.

Risih dan Gelisah yang Mencantol

Saat bara-bara emosi tersebut dipertontonkan, kamera menampilkan tembakan-tembakan jarak dekat yang berganti dengan cepat. Pergerakan kamera yang terus selalu dinamis dan tidak statis ini didukung dengan skoring gesekan cello yang cepat. Walhasil, nuansa risih dan gelisah pun muncul.

Nuansa ini sangat sejalan dengan apa yang ditampilkan film, kegelisahan dari sekelompok remaja yang labil. Kelabilan mereka menimbulkan rasa risih kepada penonton, sepertinya selaras dengan apa yang diinginkan oleh Landes. Di antara kerisihan berada di bangku penonton, kita pun dicantol dengan pikatan-pikatan plot yang menarik, tangkapan-tangkapan gambar yang indah dan pengemasan adegan yang begitu baik.

Penulisan Skenario yang (Hampir) Hebat

Moises Arias dan Deiby Rueda dalam film Monos.

Karakterisasi remaja yang ditampilkan Landes mungkin belum bisa dibilang luar biasa, tetapi pengenalannya begitu efektif. Repetisi pemanggilan nama tokoh dan fokus cerita yang tidak kabur membuat penonton dengan mudah mengapal 9 karakter utama film ini. Mungkin sedikit kesulitan ada pada nama karakter yang menggunakan alias (Rambo berarti orang agresif; Lobo berarti serigala; Leidi berarti wanita; Sueca berasal dari nama permainan kartu; Pitufo berarti Smurf, makhluk kecil; Perro berarti anjing; Bum Bum mungkin berasal dari onomatope ledakan; dan Patagrande berarti Bigfoot, kaki besar atau makhluk mistis di Amerika).

Dengan adegan demi adegan pembuka yang menarik dan membawa begitu banyak konflik, sepertinya Landes kesulitan menyelesaikannya dengan absolut. Kita merasakan empati kepada setiap tokohnya, tetapi di satu sisi kita tahu bahwa film ini tidak akan berakhir dengan baik. Ada perasaan berupa keinginan agar Doctora selamat atau menyelamatkan anak-anak Monos. Namun, dengan tebaran kegilaan sejak awal, akhiran bahagia hanyalah harapan fiktif belaka.

Belum lagi dampak besar yang dibawa saat Patagrande menjadi pemimpin kelompok. Ada ledakan-ledakan emosi yang memastikan karakter ini akan membawa kesialan pada ujung cerita. Lalu, resolusi dari segala masalah yang tercipta difokuskan pada akhiran yang berpusat kepada Rambo. Sosok ini digambarkan sebagai sosok yang memiliki rasa empati lebih. Wajar jika Landes coba mengakhiri filmnya lewat tokoh ini.

Bagaimanapun, ada perasaan yang belum selesai dan kepuasan yang belum mencapai absolut saat film berakhir. Ada kejelasan yang perlu diartikulasikan lagi oleh Landes walau sudah membuat 100 menit yang begitu menarik dan padat. Di sana pun ada peluang hebat yang bisa dikembangkan Landes pada masa depan.

Infografik film Monos oleh ulasinema.

Baca juga: Review Film Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 (2020)

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan