Review Film Mountain Song (2019): Terbatas Sumber Daya

0
1403
review film mountain song (2019)

Mountain Song, film panjang debut Yusuf Radjamuda, mungkin punya muatan yang cukup berbeda ketimbang film-film populer Indonesia saat ini. Namun, jika kita bandingkan dengan film-film independen Indonesia, kira-kira muatan dan kualitasnya tidak jauh berbeda. Sebuah hal yang layak kita perhatikan.

Mountain Song berkisah tentang anak lelaki bernama Gimba. Gimba tinggal di Pipikoro, daerah di pelosok Sulawesi Selatan yang sulit diakses. Pipikoro yang digambarkan Radjamuda dalam Mountain Song, begitu asri, begitu indah, dan belum banyak “diaduk-aduk” manusia. Namun, keasrian Pipikoro membawa kesulitan tersendiri bagi penduduknya, termasuk Gimba dan keluarganya.

Gimba tinggal bersama ibu dan kakeknya, usai melihat kepergian ayahnya yang gagal sampai rumah sakit di daerah kota karena minimnya transportasi. Orang-orang yang sakit di kampungnya harus ditandu dan pasien yang membutuhkan pertolongan darurat sering sekali tidak tertolong. Gimba pun berharap ibunya tidak bernasib sama dengan ayahnya.

Nyatanya, ibu Gimba sakit, dan dari sana anak lelaki berusia enam tahun tersebut harus melawan hal yang ia paling takuti: kesendirian. Untuk mengatasi hal itu, ibu Gimba mengajarinya bersenandung untuk mengatasi kesendiriannya. Senandung tersebut tidak langsung berhasil mengatasi rasa ketakutan kesendirian Gimba, malah membukanya menuju alam baru yang belum pernah ia arungi.

Gimba dalam film Mountain Song (2019)

Realisme Magis yang Sudah Melekat di Film-Film Indonesia

Tema realisme magis sudah cukup melekat dalam sinema-sinema independen Indonesia. Ambil contoh Sekala Niskala (2017) karya Kamila Andini. Mountain Song dan Sekala Niskala lumayan serupa, sama-sama menampilkan sisi kehidupan di daerah pedesaan di Indonesia, menjadikan anak-anak sebagai tokoh utama dan menggunakan unsur realisme magis. Keserupaan ini wajar, terutama bagi unsur realisme magis, mengingat masa lalu bangsa kita yang begitu menjunjung tinggi dinamisme.

Yang sangat disayangkan dari kedua film ini, yaitu minimnya sumber daya. Untuk menampilkan realisme magis dan menguatkan estetika-estetika alam Indonesia agar maksimal, perlu sumber daya yang besar. Mountain Song sangat terlihat minim akan hal itu. Mungkin kesulitan ini menyebabkan durasi film yang tergolong pendek untuk film panjang (1 jam 16 menit), sehingga banyak ide yang belum tuntas disampaikan.

Bagi film yang sepanjang 1 jam 16 menit dan sering memakai durasi tembakan panjang, Mountain Song masih terasa kosong. Ada hal-hal yang perlu diisi untuk memikat penonton. Sebelum menampilkan pengelanaan Gimba di alam magis, ada baiknya kita dibuat berempati dulu dengan tokoh ini. Penjelasan konflik memang hadir di dialog-dialog yang sangat minim. Namun, skenario yang ramping dialog tersebut belum maksimal didukung dengan gerak tanpa dialog pemain. Keheningan-keheningan tersebut pun beberapa kali terasa hampa.

Bagi film yang begitu terpusat pada Gimba, sayangnya kita belum banyak dikenalkan kepada anak ini. Kita hanya tahu Gimba sangat takut sendirian, sehingga ibunya menjadi palang harapan terakhir bagi anak ini untuk tidak sendirian. Penggambaran kesendirian Gimba digambarkan dengan petualangannya di alam imajinasi yang diberi warna hitam-putih atau mewujudkan sosok teman imajinasi bernama Lara di dunia nyata.

Lara hadir ketika Gimba sendirian dalam film Mountain Song (2019)

Belum Maksimal

Konfliknya jelas dan tujuan filmnya pun dapat ditangkap, tetapi ada nilai ekstra yang harus dihidupkan dalam film tersebut. Film ini masih sangat terbatas. Upaya penggunaan warna hitam-putih untuk membedakan alam imajinasi dengan dunia nyata memang mempermudah penonton menangkapnya. Namun, di satu sisi, banyak estetika yang masih bisa dimaksimalkan lagi serta keheningan tanpa dialog yang disia-siakan.

Sementara itu, saat berdialog, ada masalah teknis yang lumayan parah. Percampuran suara terdengar kasar. Sangat jelas bahwa dialog-dialog yang ada di film ini direkam terpisah dengan pengambilan gambar. Bahkan ada beberapa adegan yang sinkronisasi mulutnya kurang selaras.

Kekurangan-kekurangan yang dimiliki Mountain Song memang lebih banyak berasal dari perihal teknis dan sumber daya. Namun, ada raungan-raungan dari sineas kita yang ingin menyampaikan idenya, yang haus untuk menampilkan hal itu. Yusuf Radjamuda terlihat memiliki hal itu dan mudah-mudahan dunia perfilman kita siap mewadahinya.

Infografik Review Film Mountain Song (2019): Terbatas Sumber Daya oleh ulasinema

Baca juga: Monos (2020): Cekaman di Atas Awan hingga Belantara Hutan

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan