Review Film Sinners (2025): Blues & Vampir

0
34
Review Film Sinners (2025): Blues & Vampir

Selesai mencicipi film-film waralaba, Ryan Coogler kembali dengan film orisinilnya, Sinners (2025). Masih berkutat pada isu rasial dan pemeran kulit hitam, ia pun kembali memilih Michael B. Jordan sebagai pemeran utamanya. Kali ini, ia kembali ke tahun 1930-an dan mencampurkan musik blues dengan makhluk supernatural, vampir.

Drama bergenre horor dalam balutan isu rasial bukan hal baru, kita telah melihatnya dalam karya Jordan Peele, Get Out (2017). Perkara musik blues yang dieskalasi jadi isu rasial tentang “pencurian” yang dilakukan orang kulit putih pun banyak ditemui. Namun, menggabungkan dua hal ini dalam satu film menarik disimak. Inilah eksperimen yang dilakukan oleh Coogler dalam Sinners.

Film ini berkisah tentang seorang musisi muda bernama Sammie Moore (Miles Caton) yang punya bakat bermusik yang dikaitkan dengan folklor berbau supernatural. Dengan bakatnya, Sammie bisa dengan mudah menyihir orang untuk bersenang-senang, tetapi musiknya juga bisa mengundang kejahatan. Dengan penuh luka dan darah di tubuhnya, Sammie masuk ke gereja dan membuat semua orang terkejut.

Kisah film ini pun kembali ke dua puluh empat jam sebelumnya untuk menceritakan kejadiannya secara utuh. Pada pagi hari di rumah dekat perkebunan, Sammie diajak oleh sepupunya, Smoke & Stack yang sama-sama diperankan oleh Jordan untuk bermain musik di bar musik yang akan mereka dirikan.

Saudara kembar diperankan oleh satu aktor dengan otot kekar dan gaya bak mafia mengingatkan kita kepada Tom Hardy yang memerankan Ronald & Reginald Kray dalam Legend (2015). Saat Legend masih terlihat jelas penyuntingan efek visual dan menggunakan transisi yang berhati-hati saat menampilkan dua tubuh Hardy, Coogler justru bermain-main dengannya. Dalam salah satu adegan, terlihat Smoke & Stack mengobrol samping-sampingan sambil bertukar rokok dalam satu pengambilan gambar yang sangat halus.

Layaknya film-film saudara kembar pada umumnya, Coogler coba membedakan dua karakter utamanya. Smoke lebih kalem dengan ekspresi sangar, sementara Stake lebih banyak berbicara dan kerap tersenyum. Membedakan dua karakternya pun lebih mudah dengan perbedaan warna merah (Stake) dan biru (Smoke) yang terlihat dalam corak pakaian mereka. Dalam progresinya, keduanya memliki jalan cerita yang cukup berbeda. Mungkin, dari sini terlihat Jordan takbanyak perlu berusaha lebih untuk memerankan dua karakter, tetapi peranannya sebagai tokoh utama film aksi cukup solid.

Selama satu setengah jam rasanya kita disuguhkan oleh drama rasial periodik diiringi musik blues manis. Ceritanya cukup menarik sebenarnya, tetapi janji berdarah-darah pada adegan awal film dan cuplikan yang penuh laga membuat kita menanti-nanti waktu eskalasi ke aksinya.

Malam pun makin panas dan penampilan Sammie pada pembukaan bar Smoke & Stack menampilkan adegan magis dan surealis. Pada awalnya, Sammie menyanyikan musik blues yang membuat seisi ruangan sekaligus penonton di depan layar berdendang. Lama-kelamaan, Coogler menyulapnya, ia membawa mesin waktu dan mencampurkan musik-musik tradisional dan modern pada masa lalu dan kini. Walaupun indah, fantasi Coogler mungkin sulit ditangkap.

Datanglah sekelompok vampir dari orang berkulit putih yang mencoba masuk ke dalam bar. Dari sini kita bisa menangkap adanya keinginan Coogler untuk menyampaikan bahwa ini cara orang putih mengetuk untuk mengambil musik orang kulit hitam dan diklaim menjadi budaya mereka. Interpretasi ini menarik, terutama dengan karakter vampir yang kerap menggaungkan kata “damai dan cinta.”

Di tengah adegan darah yang penuh aksi, hadirnya musik menjadi elemen menarik. Para vampir beberapa kali bernyanyi, menimbulkan nuansa yang mengerikan sekaligus indah. Saat aksi berlangsung pun, kamera IMAX 65mm pun memberikan tekstur yang sangat halus dan elok, keindahan yang berbanding terbalik dengan adegannya yang bengis.

Aksi yang disajikan pun benar-benar membayar tuntas penantian satu setengah jam dari drama sebelumnya. Namun, dua nuansa film yang berbeda ini membuat Sinners menjadi dua entitas. Sayangnya, sulit untuk menyukai keduanya sebab transisi yang dibangun Coogler untuk mencapai klimaks tidak terlalu halus.

Usai memerangi vampir, tampillah adegan akhir saat karakter utama menembaki Ku Klux Klan yang dahsyat. Jika unsur supernatural dalam film ini tidak hadir, mungkin Coogler bisa fokus ke dunia realitas saja, mungkin klimaks seperti ini membuat drama sebelumnya lebih masuk akal. Nuansa film pun jadi takterpecah.

Bagimanapun, takbisa dimungkiri bahwa Coogler juga menghadirkan adegan-adegan inovatif dalam pengepungan vampir saat musik dan unsur mistis menjadi satu. Bagian penampilan musik dan percampuran elemen horor dalam aksinya jadi bagian paling menarik di film ini. Namun, jika dilihat dari cerita secara keseluruhan, unsur supernaturalnya memang takkawin dengan rujuk dengan dramanya.

Infografik Review Film Sinners (2025): Blues & Vampir

Baca juga: Mickey 17 (2025) – Mimpi Mengangkasa Kapitalis dan Kolonialis

Penulis: Muhammad Reza Fadillah