Setelah lima tahun produksi, Ryan Adriandhy bersama Visinema akhirnya merilis film animasi Jumbo (2025) yang dinanti-nanti. Film ini berkisah tentang seorang anak bernama Don yang harus melewati masa pertumbuhannya tanpa orangtua. Mengambil slot tayang lebaran, tentunya film ini akan menjadi variasi hebat di tengah gempuran film horor Indonesia.
Menciptakan film animasi memang takmudah. Prosesnya bisa berkali-kali lipat lebih panjang ketimbang film aksi langsung. Belum lagi masalah keterbatasan sumber daya manusia maupun teknologi yang tersedia. Namun, karya-karya hebat dapat lahir dari keterbatasan dan kreativitas sang pencipta karya pun dipertaruhkan. Adriandhy pun mengambil tantangan itu dan melalui proses panjang untuk menciptakan Jumbo.
Film ini berkisah tentang Don (Prince Poetiray), yang jika melihat parasnya, sulit untuk melepas dari sosok sang sutradara, Adriandhy. Pada usianya yang masih anak-anak, Jumbo telah ditinggal oleh ayah (Ariel) dan ibunya (Bunga Citra Lestari). Kini, Don tinggal bersama omanya (Ratna Riantiarno).
Beberapa tahun sebelumnya saat kedua orangtuanya masih ada, Don kerap didongengkan tentang kesatria yang harus berjuang di pulau gelembung setelah ditinggal orangtuanya. Namun, ia taksendirian, karena ia ditemani oleh ombak. Selepas kepergian orangtua Don, buku dongeng peninggalan orangtuanya tersebut seperti kitab yang taklepas dari genggaman Don.
Perlahan kita dipertontonkan tentang kehidupan sosial Don di lingkungan teman-teman sebayanya. Ia punya dua orang sahabat dalam diri Nurman (Yusuf Özkan) dan Mae (Graciella Abigail). Sayangnya, Don takterlalu disukai oleh keseluruhan temannya karena ia lambat saat bermain olahraga dan terlalu banyak mendongeng. Karena hal itu, Don dipanggil “Jumbo”.
Bagian awal film ini sedikit mengingatkan ke bagian-bagian awal film dari Pixar. Dibuka dengan nuansa yang menyenangkan untuk mengenalkan karakter utama merupakan cara jitu membuat penonton terikat ke bangkunya untuk mengikuti cerita lebih lanjut lagi. Belum lagi musik nuansa dari Ofel Obaja Setiawan yang membuat dramatisasi adegannya lebih solid. Film Jumbo ini pun dimulai dengan manis.
Setelah membuat pembuka yang apik, tantangan selanjutnya adalah menyuguhkan cerita utuhnya yang dapat menghipnotis penonton. Dari awal sebenarnya terasa bahwa animasi film ini mungkin masih belum bisa dibilang bagus. Kekurangan teknologi dan tekstur pada animasinya masih terlihat, walaupun jika dibandingkan dengan film animasi Visinema sebelumnya, Nussa (2021), visual Jumbo lebih bagus.
Hal paling dasar dalam Jumbo ialah kurangnya cita rasa artistik. Bangunan-bangunan serta lokasi filmnya lebih mendekati arsitektur Amerika Selatan ketimbang Indonesia. Memang jika ingin menyamai animasi-animasi Hollywood atau Jepang yang sudah punya puluhan tahun pengalaman, kita masih ketinggalan jauh. Namun, kita bisa melihat Flow (2024) Gints Zilbalodis yang kemarin menang di Oscar dengan keterbatasan dan kesederhanaannya.
Hal-hal seperti ini sebenarnya bisa kita kejar lagi dengan penulisan skenario yang tepat. Awalan yang dibangun oleh Adriandhy di filmnya ini cukup solid: memasukkan unsur-unsur ke-Indonesia-an dengan bermain bola kasti, beternak kambing, hingga penggunaan bahasa Indonesia yang luwes. Sayangnya, progresi ceritanya agak ke mana-mana.
Kita disuguhkan dengan kisah Don yang ingin eksis di lingkungan temannya dengan membuktikan bahwa ia bisa memberikan lomba teater yang berkesan. Dari situ sebenarnya sudah bisa fokus tentang kesulitan-kesulitan Don dan cara ia berinteraksi dengan teman-temannya untuk mencapai satu tujuan. Pada akhiran film pun Adriandhy memberikan nilai manis yang tepat untuk film anak-anak, yaitu tentang pentingnya pertemanan dan mengesampingkan ego untuk tujuan yang baik.
Sayangnya, banyak percampuran cerita yang sepertinya menjadi sampingan sehingga fokus cerita agak ke mana-mana. Mulai dari hadirnya sosok hantu yang minta tolong karakter utama, hingga permasalahan politik dalam lingkup kecil. Mungkin, dengan hadirnya hal-hal ini, Jumbo ingin menampilkan pertunjukan yang spektakuler sehingga mudah menghibur anak-anak.
Memang benar, di adegan-adegan akhir, film ini berubah menjadi film aksi yang sangat menghibur. Kejenakaan Don dan teman-temannya pun membuat adegan klimaks menjadi pentas yang seru. Sayangnya, jika dilihat dari aspek cerita, memang agak berantakan. Selain itu, beberapa adegan juga terlihat terlalu seram jika ingin dipresentasikan ke anak-anak, suatu hal yang sulit dihindari jika menekel tema hantu yang dekat dengan horor di Indonesia.
Pada akhirnya, Jumbo memang masih jauh dari kata sempurna. Namun, ini merupakan langkah konkret kemajuan sinema animasi Indonesia. Bahkan, tanggal tayang lebarannya pun sangat penting: pada momen keluarga berkumpul bisa menikmati sinema bersama, tentu horor yang selalu mendominasi dalam beberapa tahun terakhir bukan tontonan yang sesuai. Film seperti inilah yang kita butuhkan saat berkumpul bersama.

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Farhan Iskandarsyah