Charlie Kaufman kembali membuat kita pusing dalam karya terbarunya, I’m Thinking of Ending Things. Film yang diadaptasi dari novel Iain Reid ini mengajak kita menerka-nerka berbagai macam simbol yang terlihat bergerak ke semua arah, tetapi menuju ke satu tempat. Menyaksikan film ini tanpa mengenal Kaufman mungkin dapat berakibat fatal.
Memuat konten bocoran. Disarankan menyaksikan filmnya terlebih dahulu.
Dialog narasi dari Jessie Buckley yang memperkenalkan sosok Jake (Jessie Plemmons) membuka I’m Thinking of Ending Things. Gambaran sudut-sudut rumah dengan nuansa hangat menemani narasi yang bernada kegembiraan, tetapi bermuatan keraguan. Lalu, kita melihat perempuan yang berdialog tadi, yang diperankan oleh Buckley.
Di tengah pertemuan perempuan berambut merah dan kekasihnya Jake, yang entah telah berhubungan berapa lama dengannya, terselip adegan seorang lelaki tua yang melihat ke luar dari jendela. Adegan-adegan bersama lelaki tua ini akan terus tampil sepanjang film, terselip di antara kisah Jake dan Lucy, Louisa, Lucia? Lewat sosok lelaki tua ini, Kaufman menanamkan petunjuk yang bisa menjadi jawaban dari kepusingan kita sepanjang film.
Lanjut ke kisah Jake dan Lucy, kehangatan dari narasi awal dan pertemuan mereka sekejap sirna dalam terjangan salju ketika keduanya melaju dengan mobil. “I’m thinking of ending things…” memecah kebisuan di dalam mobil, tetapi Lucy takbersuara, ia berbicara dalam benaknya. Pikirannya terus berkelana, mencari-cari alasan dirinya harus menyelesaikan hubungan dengan Jake. Namun, setiap kali pemikiran Lucy hampir mencapai kesimpulan konkret, Jake menyelanya dengan pembicaraan.
Pembicaraan mereka di mobil sedikit mempertegas alasan Lucy ingin mengakhiri hubungannya dengan Jake. Jake senang berada di belakang setir dan taksuka ketika kendalinya lepas. Hal ini makin dipertegas ketika dirinya ingin melihat kandang domba sesampainya di rumah Jake padahal Lucy menolak karena kerasnya badai salju.
Kendali Jake perlahan menjadi paksaan sesampainya di rumah orang tuanya. Lucy pun merasa seperti terperangkap. Ketegangan aneh terbangun, Jake seakan diserang oleh kedua orang tuanya atau nuansa rumahnya sendiri. Makin lama Lucy di rumah Jake, makin ia menyelami latar belakang Jake.
Pada bagian ini, Kaufman mengambangkan ruang dan waktu dan meliarkan adegan-adegannya. Awalnya ada dugaan keras bahwa Lucy gelisah dan ketakutan akan komitmen hubungannya terhadap Jake. Namun, seiring dengan berkembangnya film karakterisasi Jake dipertebal. Lalu, kita makin diperangkap oleh pertanyaan, siapakah sosok perempuan berambut merah ini?
Lucy, Louisa, Lucia
Indikasi awal ia bernama Lucy muncul saat perbincangan awal dalam perjalanan menuju rumah orang tua Jake. Jake menyebut seri puisi William Woodsworth yang bermuatan perempuan bernama Lucy, lalu perempuan berambut merah itu pun menjawab, “seperti aku.” Namun, beberapa saat kemudian ia ditelepon dengan kontak bernama Lucy di ponselnya.
Pertama kali perempuan ini bertemu dengan ibu Jake, ia dipanggil Louisa. Lalu, saat keluarga Jake dan dirinya sedang bercengkerama di ruang tamu, Jake memanggilnya Lucia. Profesinya pun terus berubah-ubah, mulai dari penulis esai tentang rabies, pembuat puisi, pelukis, hingga gerontologi (ilmu tentang efek penuaan dan penyakitnya).
Perlahan, karakter Jake makin dibentuk. Kilasan-kilasan keanehan perempuan berambut merah terlihat dari benda-benda yang dimiliki Jake. Lucy melihat buku Woodsworth yang termuat puisinya yang ia bacakan pada Jake dalam perjalanan menuju rumah orang tuanya. Ia pun melihat lukisannya yang ia tunjukkan kepada orang tua Jake, yang ternyata hasil karya orang lain.
Kenyataan makin menjadi absurd saat Jake melepas kendalinya dari Lucy. Orang tua Jake yang pada awalnya ditampilkan paruh baya, tiba-tiba menjadi makin uzur dan tiba-tiba lagi menjadi jauh lebih muda. Praduga bahwa pembahasan mengenai komitmen Lucy dan lintas pikirannya melihat penuaan yang tergambar pada orang tua Jake, menjadi hipotesis yang berlubang.
Simbol-Simbol yang Bertentangan
Sosok lelaki tua yang tampil di sela-sela adegan utama bertentangan dengan praduga bahwa Lucy menjadi sorotan utama. Alam bawah sadar kita mengatakan bahwa sosok lelaki tua ini Jake pada masa depan. Namun, keduanya makin bertemu jalan dalam ruang dan waktu yang sama. Dua perempuan cantik yang bekerja di toko es krim Tulsey Town yang disambangi Jake dan Lucy serupa dengan dua perempuan di sekolah yang ditemui oleh lelaki tua tersebut. Lalu, perempuan penuh luka di tangannya yang melayani mereka baru saja tampil dalam kilasan lelaki tua itu.
Makin jelas bahwa lelaki tua tersebut merupakan Jake. Dialah Jake yang asli. Ia berfantasi tentang dirinya memiliki sosok perempuan ideal dalam usia idealnya. Sosok “Lucy” pun hanya akumulasi takkaruan dari hal-hal yang ia lihat dan ia alami di sekitarnya. Saat Jake tua dan sosok “Lucy” bertemu, perempuan itu menyatakan hal yang kontradiktif dengan pertemuan pertama mereka.
Pertemuan tersebut meruntuhkan fantasi Jake tua. Dalam benaknya, ia menciptakan teatrikal Oklahoma versinya yang ia lihat dari latihan teater para siswa dengan pemeran yang lebih rupawan. Teatrikal tersebut diakhiri dengan Jake membunuh pemerannya. Pikirannya hancur, badannya menggigil kedinginan dan mengalami paradoxical undressing, lalu ia kembali berfantasi. Film ini pun ditutup dengan akhiran ideal bagi Jake: membacakan pidato ucapan terima kasihnya atas penghargaan Nobel, lalu mati tenang di rumah orang tuanya.
Fantasi dan keidealan menjadi dua kunci utama pembangunan cerita I’m Thinking of Ending Things. Novel depresif dari Reid dikemas Kaufman dengan paradoks-paradoks dari fantasi Jake yang angin-anginan. Sejak Synecdoche, New York (2008), yang juga karya Kaufman, takada konsep penuaan dan pemakanan waktu yang sekeji ini. Mungkin tidak semenjijikan digerogoti belatung hidup-hidup layaknya babi Jake, tetapi terpaan keras film ini bisa membuat Anda goyah.
Baca juga: Portrait of a Lady on Fire: Upaya Memahami Sesama
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan