Terakhir kali Mark Ruffalo tidak menjadi Bruce Banner dalam film-film Marvel Cinematic Universe, terjadi 3 tahun lalu. Dalam Dark Waters, aktor yang telah mendapatkan 3 nominasi Oscar ini harus belajar lagi mendalami peran baru. Hal ini jadi tantangan besar sebab sutradara Todd Haynes benar-benar memusatkan filmnya dengan tokoh utama yang diperankan Ruffalo.
Dark Waters membahas tentang problem masif yang disepelekan. Film ini didasarkan dari artikel The New York Times Magazine mengenai seorang pengacara bernama Robert Bilott (Mark Ruffalo) yang melawan perusahaan berskala masif, DuPont. DuPont sendiri perusahaan alat-alat rumah tangga yang sangat masif dan inovasinya, Teflon, memiliki bahan berbahaya yang dapat mengancam kesehatan manusia dalam jangka panjang.
Dengan ide pengacara, masalah masif, dan tindak kriminil, kita pasti mengharapkan sebuah film yang bersirkulasi di tengah-tengah ruang persidangan. Dark Waters memang memiliki beberapa adegan persidangan, tetapi unsur utama yang ingin dibangun dalam film ini bukan hanya tindak kriminil DuPont saja. Penulis skenario Mario Correa dan Matthew Michael Carnahan ingin mengajak penonton untuk merasakan sulitnya perjuangan Bilott dan berbagai kompleksitas pribadi yang harus ia alami.
Oleh karena itu, film ini tidak serta-merta membawa perkara ke ruang sidang. Film ini memperkenalkan sosok Robert Bilott terlebih dahulu dan awal mula ia terlibat dalam kasus DuPont. Mau tidak mau, film ini pun harus bertumpu dengan akting Ruffalo sebagai pemeran utama.
Ruffalo terakhir kali memerankan peranan yang ia belum pernah mainkan sebelumnya pada 4 tahun lalu, yaitu dalam film Spotlight. Sementara itu, terakhir kali ia tidak menjadi Bruce Banner, yaitu pada 2016 dalam Now You See Me 2. Perlu diingat lagi bahwa aktor kelahiran 22 November ini mendapatkan 3 nominasi Oscar dalam sedekade terakhir, semuanya ia dapatkan untuk pemeran pendukung. Artinya, menjadi pemeran utama di film biografi yang miliki problem masif, di bawah pimpinan Todd Haynes, tentu tantangan berat baginya.
Ruffalo aktor hebat, tetapi dalam Dark Waters, ia mungkin melupakan kehebatan akting yang ia tampilkan dalam Spotlight, Foxcathcer dan The Kids Are All Right. Walaupun menjadi pemeran pendukung dalam ketiga film di atas, ia selalu mampu menjadi sorotan. Mungkin, ia sedang mengalami jet lag setelah terlalu sering terpapar sinar Gamma di Marvel Cinematic Universe.
Akting Ruffalo tidak buruk, tetapi begitu datar. Karakternya kurang memiliki gejolak emosi yang mampu membuat penonton merasa apa yang dirasakan Bilott. Tentu, hal ini agak mengganggu bagi film yang sangat terpusat pada karakter utamanya. Haynes yang kerap berhasil menggarap tokoh yang datar sepertinya kurang mampu menghadirkan daya pikat akting Ruffalo di sini.
Melihat masifnya skala film dari lingkup masalah yang dicakup dan panjangnya waktu yang dilewati, Dark Waters terlihat kesulitan diringkas. Beberapa momen yang mereka tampilkan memiliki daya pikat karena masifnya masalah ini. Namun, dalam beberapa momen lainnya, terasa hanya seperti menaiki kereta, singgah di beberapa tempat lalu terus berjalan lagi. Padahal, tempo film ini sangat lambat, artinya mereka memberikan waktu untuk membangun momen-momen tersebut agar lebih terasa.
Sebuah film membutuhkan sesuatu yang ekstra untuk membuat koneksi dengan penontonnya. Dark Waters kurang memiliki hal itu. Bukan berarti film ini buruk, ini film yang bagus. Filmnya begitu informatif, mudah dimengerti. Mungkin, akan lebih efektif jika dijadikan dokumenter. Hanya saja, ini bukan kualitas yang kita harapkan dari aktor seperti Mark Ruffalo dan sutradara seperti Todd Haynes.
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan