Beberapa dekade lalu, film-film aksi yang mengandalkan perempuan-perempuan cantik berpakaian seksi masih banyak digemari. Seiring berkembangnya zaman, intensitas film-film seperti ini pun berkurang. Film terbaru Charlie’s Angels yang bertema serupa harus merelevansikan filmnya sesuai dengan zaman.
Tidak bisa dimungkiri, Charlie’s Angels harus mengakui kesulitannya merelevansikan film. Perkaranya, film beserta serial televisi pendahulunya memang mengandalkan aksi-aksi bombastis dari perempuan-perempuan yang berpenampilan menarik, jika tidak ingin disebut seksi. Unsur ini rasanya tidak bisa seratus persen diberantas oleh Elizabeth Banks, selaku sutradara dan penulis skenario.
Adegan awal film ini langsung dibuka dengan menampilkan sensualitas Kristen Stewart sebagai salah satu Angels bernama Sabina Wilson. Ini pun masih menandakan bahwa film ini masih mengincar penonton-penonton pria yang ingin melihat wanita-wanita cantik nan menarik.
Begitu adegan awal selesai, ditampilkan potongan-potongan video pendek dari berbagai perempuan di dunia sebagai pembuka film. Rasanya, kegunaan adegan ini ditujukan untuk meminta maaf untuk para perempuan yang menonton Charlie’s Angels dan memberi tahu bahwa film ini tidak hanya unggulkan keseksian para perempuannya. Elizabeth Banks beserta dua penulis skenario lainnya, Evan Spiliotopoulus dan David Auburn, pun harus bekerja ekstra untuk mencari keunggulan lainnya dari film ini.
Lalu, apa yang coba diunggulkan dari daur ulang film Charlie’s Angels ini? Mari kita selidiki satu per satu. Dimulai dari aksi film yang juga menjadi nilai jual utama film dan serial Charlie’s Angels sebelumnya. Aksi dari film garapan Elizabeth Banksini cukup menarik dalam beberapa bagian, tetapi terkesan norak dan asal-asalan dalam bagian lainnya.


Usaha ketiga pemeran Angels, yakni Kristen Stewart, Naomi Scott dan Ella Balinska, memang patut dipuji. Ketiga aktris ini terlihat sudah bersiap melakukan beberapa adegan aksi yang harus mereka lakukan sendiri. Di sisi lain, saat stuntman harus melakukan gerakan sulit, tembakan kamera terlalu dekat dan terlalu banyak bergerak agar mukanya tidak terlihat.
Tembakan seperti ini merupakan cara yang agak ketinggalan zaman sebab beberapa film aksi sudah mampu menampilkan tembakan yang lebih statis. Hal ini vital untuk kenyamanan penonton yang ogah melihat pergerakan kamera yang membuat kepala pusing. Singkat kata, teknik pengambilan gambar film ini masih setingkat film-film aksi kelas B.
Selain itu, ada beberapa logika adegan yang kurang masuk akal. Salah satu yang cukup mengganggu, yaitu adegan dari pacuan kuda ke pertambangan. Bisa dimengerti jika para Angels menggunakan dress untuk hadiri pacuan kuda. Namun, setelah itu, tidak ada alasan mereka tetap gunakan pakaian ini untuk bertarung di pertambangan. Padahal, di adegan lainnya ditunjukkan bahwa mereka punya persenjataan yang lengkap. Tandanya, mereka bisa mempersiapkan kemungkinan terburuk, apalagi mereka membawa ambulans yang notabene kendaraan bermuatan besar.
Jika pakaian pada adegan tersebut bisa dimengerti karena para Angels tidak membawa persediaan lebih, ada lagi adegan yang cukup menyiksa logika. Cara ketiga Angels masuk ke gedung pertambangan begitu naif. Di daerah pertambangan yang terbuka lebar dan didominasi warna batu abu-abu, pakaian mereka begitu menarik perhatian. Mereka tidak lagi mencari jalan lain atau berpencar untuk menyusup dari sisi yang berbeda. Mereka, dengan baju dengan warna yang begitu mencolok, berlari lurus bertiga ke pintu masuk. Hebatnya, tidak ada penjaga yang menyadari. Wow.
Jika ingin sedikit mengabaikan logika untuk memberikan unsur komedi atau membuat film lebih enteng, mungkin bisa dimengerti. Charlie’s Angels tidak berat, memasukkan komedi-komedi yang beberapa kali berhasil, tetapi sebagiannya membuat penonton bingung. Sabina yang diperankan oleh Stewart mengemban tugas melucu paling besar karena karakternya yang suka memberikan banyolan. Stewart memang lebih agresif di sini ketimbang peranannya yang pasif di sebagian besar filmnya. Namun, banyak candaan yang terkesan tanggung dan bisa dieksekusi lebih baik.


Dari sudut pandang karakter, penampilan Balinska sebagai Jane Kano paling menarik. Penampilannya elegan, tanpa harus menebar aroma sensualitas berlebihan. Ia juga terlihat paling luwes dalam bertarung. Sementara itu, Elena Houghlin yang diperankan Scott terkesan biasa, pakem wanita canggung yang sudah sangat sering ada di dunia perfilman.
Hal menarik dari film yang didominasi oleh perempuan ini ialah tokoh yang lebih menarik justru hadir dalam sosok lelaki. Patrick Stewart mampu membuat penonton bingung dengan rahasia karakternya. Selain itu, Jonathan Tucker, walaupun karakternya masih berada di pakem penjahat kuat di film aksi, mampu memberikan aura membunuh yang hebat.
Keseluruhan skenario film ini sebenarnya cukup menarik, hanya eksekusinya saja yang belum maksimal. Memberikan beberapa twist memang hal yang dapat membuat penonton terkejut dan terhibur. Sayangnya, twist tersebut kurang maksimal saat implikasinya terlalu jelas. Selain itu, puncak adegan dramatis film ada dua, saat ketiga Angels saling merangkul di kapal dan saat Jane bersedih karena Sabina taksadarkan diri. Adegan ini tidak memberikan kesan yang baik sebab belum ada adegan yang benar-benar menguatkan hubungan ketiga Angels. Oleh sebab itu, tindakan mereka dalam kedua adegan tersebut agak berlebihan.
Beberapa kekurangan yang ada di atas mungkin dapat dimaklumi jika melihat sepak terjang Elizabeth Banks sebagai sutradara. Ini film panjang kedua yang ia kepalai dan film aksi pertamanya. Namun, hal yang paling sulit diampuni dari film ini merupakan skoringnya. Skoring film tidak memiliki pakem tertentu dan setiap 5 detik selalu berubah. Sangat mengganggu dan menghancurkan dramatisasi adegan.
Charlie’s Angels terbaru ini pun belum bisa memberikan kesan mendalam dan alasan mengapa film ini perlu didaur ulang lagi. Hampir segala hal dalam film ini terasa begitu tanggung sehingga tujuannya kurang jelas. Jika memang ingin membuat sekuel, perlu modifikasi lebih dalam segi skenario, terutama eksekusi adegan agar implikasi bahwa film ini hanya mencari profit saja tidak begitu terlihat.


Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan