Ridley Scott lanjutkan kisah film yang memenangi Film Terbaik Oscar, Gladiator (2000), 24 tahun sejak film pertamanya tersebut. Melanjutkan kisah Romawi klasik pada abad kedua, peninggalan kisah dari film pertama dilanjutkan di Gladiator 2 (2024) dengan jagoan baru dalam diri Hanno. Ruwetannya jauh lebih epik, tetapi penulisannya di bawah ekpektasi.
Film ini dibuka dengan latar Numidia, menyorot protagonis utama bernama Hanno (Paul Mescal) yang hidup bersama istrinya, Arishat (Yuval Gonen). Suatu hari, Numidia diserang pasukan Romawi yang dipimpin oleh jenderal Acacius (Pedro Pascal). Numidia takluk dan Arishat dibunuh. Hanno pun dibawa ke Romawi menjadi budak yang dipersiapkan untuk menjadi Gladiator. Ia pun membawa dendamnya terhadap Acacius.
Bagian awal film ini langsung menggempur dengan aksi tanpa henti. Dimulai dari peperangan di Numidia, aksi Hanno melawan kera, hingga pertempuran-pertempuran superseru di Koloseum. Di balik semua itu, Gladiator 2 menyempilkan beberapa plot menarik. Mulai dari rencana Acacius untuk menggulingkan kaisarnya, Geta (Joseph Quinn) dan Caracalla (Fred Hechinger), hingga masa lalu Hanno yang perlahan terkupas.
Pada awalnya, cerita ini bergerak dengan cepat dan padat. Adegan-adegan aksi disajikan dengan intensitas tinggi. Mescal pun menunjukkan karismanya sebagai aktor papan atas Hollywood di film blockbuster ini. Sosoknya di sini mungkin takbisa menarik empati sebesar Russell Crowe di film pertama, tetapi dalam bertarung dan berlaga, ia lebih buas.
Sayang, saat plot menebal dan aksi berkurang, terlihat jelas penulisan yang kurang kuat di sini. Beberapa dialog terlihat tidak solid dan rasanya terburu-buru. Kita bisa merasakannya dimulai dari cara Hanno mengungkap jati dirinya yang sadar bahwa ia Lucius, anak dari Lucilla (Connie Nielsen) dan ayahnya yang ternyata Maximus (Crowe di film pertama).
Koneksi Lucilla dan Lucius pun takterjalin dengan baik. Pertama Lucius terus menolak keberadaan ibunya. Lalu, tiba-tiba ia menerimanya dan menyatakan bahwa ia takingin kehilangan sosok ibunya. Transisinya terasa kosong dan adegannya hampir tak berbobot. Belum lagi saat Lucius yang menghilangkan amarahnya untuk membunuh Acacius tiba-tiba hilang tanpa adanya pergolakan di dalam hatinya.
Adegan dramatisnya pun kurang menggigit. Dengan banyak pelaku politik yang riuh, intensinya mungkin ingin tebas dan bunuh tanpa pandang bulu layaknya Game of Thrones. Namun, dengan kurangnya dialog berbobot, takseperti serial GOT, kematian-kematian karakter besar di film ini pun menjadi kurang bermakna.
Rasanya, Ridley Scott sedikit melupakan senjata utama film Gladiator pertamanya yang sangat mengandalkan drama. Tindak-tanduk Crowe selalu dengan mudah menarik simpati. Memang, karakter Lucius dibuat sedikit berbeda dari Maximus. Namun, berulang kali dalam film ini, Lucius mencoba menguatkan koneksi dengan Maximus dari tindak-tanduknya.
Mescal sebenarnya sosok sempurna untuk meneruskan Crowe. Perawakannya mirip dan kualitas aktingnya terbukti. Sayangnya, ia dikecewakan dengan penulisan yang buruk. Beberapa pidatonya yang seharusnya menarik empati justru terasa konyol.
Di antara kekacauan paruh kedua film ini, Denzel Washington menjadi penyelamat. Memerankan Macrinus yang awalnya hanya bos pemasok Gladiator, ia menjadi sosok antagonis kejutan. Washington pun sangat luwes, ia tampil necis di satu sisi, tetapi bengis di sisi lain.
Masalah Scott ini rasanya terus berulang. Jika Anda menyaksikan Napoleon (2023) sebelumnya, Anda bisa sadar adanya potensi besar dari aktor-aktor sekaliber Joaquin Phoenix dan Vanessa Kirby. Dalam menyajikan aksi, film tersebut pun sangat menarik. Sayangnya, dalam berdrama, koneksi antara Phoenix dan Kirby terasa aneh.
Mungkin, Scott sudah melewati masa emasnya. Mungkin, ia takperlu melanjutkan kerja samanya dengan penulis skenario David Scarpa yang bekerja sama di Napoleon dan Gladiator 2 ini. Namun, di antara kekurangan ini, ia masih bisa menyuguhkan aksi historis yang masyhur. Takbisa dimungkiri, Gladiator 2 (2024) ini bisa jadi blockbuster paling menarik tahun ini.
Baca juga: Napoleon (2023) – Diredamnya Ambisi Sang Kaisar
Penulis: Muhammad Reza Fadillah