Joko Anwar dan tim marketing-nya memang paling jago dalam urusan menciptakan hype untuk film-filmnya. Special screening film Perempuan Tanah Jahanam yang diadakan di Flix Grand Galaxy Mall Bekasi dan Epicentrum XXI Jakarta di Hari Sabtu, 12 Oktober 2019 lalu dipadati oleh ratusan penonton. Sampai-sampai bioskop harus menambah jam penayangan karena satu studio dan satu kali penayangan tidak cukup.
Film Perempuan Tanah Jahanam (PTJ) sendiri bercerita tentang Maya (Tara Basro) dan Dini (Marissa Anita). Keduanya adalah penjaga pintu tol. Ketika bekerja, Maya mengalami kejadian yang cukup mengerikan—saya tidak mau menjelaskan terlalu detail di sini, silakan tonton. Lanjut cerita, keduanya pun berpindah haluan membuka toko baju di pasar karena pekerjaan penjaga pintu tol sudah terganti dengan mesin.
Penjualan yang tidak bagus membuat mereka berpikir untuk mencari cara bertahan hidup. Ternyata, jalan itu muncul dari tempat yang tidak mereka duga. Maya menemukan foto lama dirinya dan orang tuanya dengan latar rumah cukup besar, kemudian di sisi belakang foto terdapat informasi: nama sebuah desa: Desa Harjosari.
Mereka berdua pun berpikir untuk pulang ke kampung Maya dan menjual rumah yang terlihat besar itu untuk menyambung hidup. Akhirnya mereka putuskan untuk berangkat. Perjalanan yang harus ditempuh keduanya sangat jauh. Desa Harjosari letaknya terpencil sampai-sampai warga sekitar sana tidak banyak yang mengetahuinya.

Setelah sampai, mereka berpura-pura menjadi mahasiswi yang sedang meneliti tentang budaya di desa dan menginap di rumah peninggalan orang tua Maya. Seperti yang sudah diduga, desa tersebut tidak beres. Banyak sesuatu yang aneh. Setiap hari ada pemakaman. Orang tua Maya di sana juga seakan-akan tidak dihormati. Sang Kepala Desa, Ki Saptadi (Ario Bayu) juga gelagatnya terlihat mencurigakan.
Sejak awal, Joko sudah mencoba untuk mengenalkan kita kepada dua tokoh utama dan karakternya. Hanya saja, pengenalan ini tidak semulus perkenalan di Pengabdi Setan (2017) atau Gundala (2019) yang juga ia sutradai. Hal ini mungkin karena di kedua film itu ada anak kecil sehingga empati penonton lebih terbawa. Akibat kurang mulusnya perkenalan ini, saya jadi agak sulit untuk peduli ke hal-hal yang nantinya akan terjadi pada mereka.
Sebaliknya, Joko Anwar berhasil menciptakan suasana Desa Harjosari yang sangat suram. Hal ini penting karena desa ini mendapatkan porsi cukup banyak dalam film. Rumah-rumah dan penduduknya yang belum mendapatkan fasilitas dari PLN menjadi lokasi yang bagus untuk film horor yang mencekam.
Ketika adegan kunci di dalam film ditampilkan, saya cukup terkejut karena ada yang kepikiran untuk membuat cerita se-disturbing ini. Namun, perkembangan cerita setelah kejadian mencengangkan itu justru menurun intensitasnya.
Akting para pemain, mulai dari Tara Basro, Marisa Anita, Asmara Abigail, Ario Bayu sampai Christine Hakim memang sudah sangat baik. Sayangnya, banyak hal yang membuat film ini tidak mampu memaksimalkan potensi kengeriannya, antara lain karena jalan ceritanya yang biasa saja. Memang ada plot twist pada ujung film, tetapi hal itu justru menambah ruwet cerita yang tadinya masih bisa diikuti.

Selain itu, hal yang dirasa kurang lainnya merupakan pemilihan pemain. Saya mengerti bahwa Joko Anwar memang sudah nyaman menggunakan pemain-pemain yang biasa bekerja dengannya, tetapi, menurut saya, ada yang sedikit dipaksakan di film ini. Contohnya adalah peran Ario Bayu sebagai Ki Saptadi, kepala desa dan dalang yang sering keliling untuk pentas. Ario yang baru 34 tahun—yang juga terlihat demikian dalam film—kelihatan kurang berwibawa dan misterius untuk peran itu. Walaupun tidak ada yang kurang dari akting yang diberikannya, masalah penampilan fisik kurang. Beberapa tokoh juga terlihat kurang “masuk” baik secara usia maupun penampilan.
Bagaimana dengan horornya? Kalau ada yang bilang bahwa Perempuan Tanah Jahanam lebih seram daripada Pengabdi Setan, jelas saya tidak setuju. Walaupun sumber kengeriannya berbeda, di Pengabdi Setan horornya lebih intens dan membuat bergidik sungguhan. Di film ini, saya tidak merasakan ketakutan yang sama, hanya merasa sedikit terganggu saja.
Banyak kritikus yang mengatakan bahwa film ini menakutkan, membuat tidak bisa tidur, dan lain-lain. Namun, menurut saya yang awam ini, film ini sadis? Iya. Mengganggu? Iya. Menakutkan? Tidak terlalu. Hal yang seharusnya menakutkan di film ini menurut saya kurang relatable, entah karena karakternya yang kurang berkoneksi dan terlihat out-of-place, entah karena lokasinya atau hal lain.
Sepertinya, Pengabdi Setan telah menciptakan standar horor yang sulit untuk dicapai, bahkan oleh sang penciptanya sendiri.
Artikel ini merupakan artikel kiriman pembaca ulasinema. Anda pun bisa mengirim artikel anda ke ulasinema@gmail.com. Syarat dan ketentuan tulisan bisa dicek di sini.
Penulis: Adi Lazuardi
Penyunting: Redaksi