“Saya tidak pernah bekerja pada film yang memiliki banyak latar tempat, pola pencahayaan seperti film ini. Secara teknis, (mengerjakan film ini) sangatlah menantang,” ujar Roger Deakins, sinematografer Blade Runner 2049 pada featurette film ini di kanal YouTube Warner Bros. Segala kesulitan itu rasanya terbayar dengan tampilan visual film ini yang sangat fantastis.
Kekuatan Blade Runner (1982) adalah set produksi kompleks yang penuh akan gedung dan efek visual yang menghibur mata. Penyajian visual tersebut dalam spektrum warna gelap yang dipadu cahaya mencolok. Untuk masanya, sinematografi serta set produksi Blade Runner terhitung sangatlah artistik dan inovatif. Gaya sinematografi serupa mungkin sudah dilakukan sutradara Ridley Scott pada Alien (1979). Namun, latar tempat Alien tidak seramai Blade Runner.
Beralih ke sekuel Blade Runner, satu beban berat di pundak Villeneuve sebagai suksesor ialah mampu menyaingi pendahulunya. Dengan mengutus Roger Deakins sebagai “mata” sang sutradara, latar tempat rancangan Dennis Gassner tidak disia-sia-kan. Perpaduan arsitektur minimalis futuristik dengan pencahayaan yang terstruktur hampir terasa seperti film seni fotografis.
Latar tempat yang ditampilkan pun tidak sama persis. Elemen kota Los Angeles yang sangat padat “Cuaca rusak” berupa langit mendung dan hujan lebat pada film pertama dijelajahi lebih jauh. Set produksi dalam ruangan dieksplorasi melalui pencahayaan dinamis dan digabung dengan desain minimalis. Sementara penjelajahan latar luar ruangan banyak menunjukkan lahan tandus.
Eksplorasi di luar kota Los Angeles memberi petunjuk bahwa ruang padat kota berbanding terbalik dengan kekosongan di luar kota. Kebanyakan ruang itu mati karena kekurangan unsur kehidupan, salah satunya adalah udara bersih. Ditambah, lagi ditunjukannya laut yang sepertinya selalu dibombardir badai ganas. Ekspansi keterpurukan dunia ,pembaharuan, dan penajaman visual pada film ini benar-benar berhasil.
Berikut ini infografis fakta menarik Blade Runner 2049 yang secara khusus kami sajikan untuk Anda.

Kekangan Plot
Capaian produksi yang fantastis dari Blade Runner 2049 tentu akan sia-sia tanpa plot yang matang. Set produksi yang diperluas pun menuntut plot agar diperluas juga. Tidak tanggung-tanggung, waktu tayangnya pun ditambah hampir sejam dibanding pendahulunya. Banyak sekali elemen-elemen baru yang dipadu dengan elemen lama pada film ini.
Kisah ini tertuju pada K (Ryan Gosling) seorang Replicant yang bekerja sebagai Blade Runner. K ditugaskan ‘memensiunkan’ Sapper Morton (Dave Bautista), generasi Replicant Nexus 8 yang memiliki masa hidup sama seperti manusia. Replicant tersebut merupakan produk terakhir dari Tyrell Corporation. Setelah pekerjaannya selesai, K pun mengikuti serangkaian tes yang terbalik dengan Voight-Kampff. Tes tersebut menjaga K agar tetap menyadari bahwa dirinya Replicant sekaligus Blade Runner agar tidak membelot.
Morton ternyata menyimpan mayat Rachael (Sean Young). Terkuaklah bahwa Rachael melahirkan dan memiliki anak. Memori masa kecil K menunjukkan bahwa dirinya merupakan anak tersebut. Apalagi setelah bertemu pencipta memori Replicant, Dr. Ana Stelline (Carla Juri) yang meyakinkan bahwa memori K merupakan memori asli, bukan sintetis.
Seperti halnya film-film Villeneuve sebelumnya, misteri-misteri yang muncul satu per satu akan terjawab pada akhir film. Segmen terakhir film merupakan luapan jawaban dari segala misteri. Minimnya dialog, lambatnya tempo, dan audio intens yang mencekam menandakan gaya perfilman Villeneuve.
Perluasan plot pada film ini juga banyak membawa nilai baru. Misalnya, kemunculan karakter Joi (Ana de Armas) yang merupakan sistem operasi tak bertubuh. Roman makhluk tak berwujud dengan sistem operasi tak berwujud ini mengingatkan kita pada film Her (2013). Selain itu, K yang dipercaya sebagai ‘yang terpilih’ yang bisa mengubah nasib Replicant juga mengingatkan kita pada film The Matrix (1999).
Penggabungan unsur-unsur tersebut pun cukup berhasil. Namun sayangnya, jati diri film pendahulunya rasanya agak terkikis. Film pertama yang sangat berhasil menyampaikan eksistensialisme rasanya agak terlupakan di film ini. Memang plot cerita sekuel ini sangat terkait dengan film lama. Keterkaitan itu rasanya malah menjadi kekangan tersendiri bagi Villeneuve.
“Saya tidak pernah memiliki beban seberat ini pada pundak saya (karena) membayangkan (bagaimana reaksi) Ridley melihat film ini,” ujar Villeneuve pada kanal YouTube Warner Bros.
Sang sutradara terasa mencoba sekeras mungkin untuk menggabungkan elemen film baru dengan film lama. Jawaban dari hal itu antara berhasil atau tidak. Eksplorasi plot, relevansi dengan zaman sekarang serta visualisasi yang diperbaharui dengan baik sangat patut diacungi jempol. Namun, kekangan untuk mengikuti penuansaan film pendahulunya rasanya hampir gagal.
Meskipun plot sangat terikat dan dimunculkan kembali beberapa tokoh lama, rasanya hal itu belum cukup. Bahkan, adegan luar biasa pertemuan Deckard (Harrison Ford) dengan rekonstruksi Rachael (Sean Young) juga masih belum berhasil membawa rasa nostalgia pada penonton. Tetap saja, Blade Runner 2049 merupakan film yang luar biasa di tengah kekurangsempurnaannya.
Baca juga: Blade Runner (1982): Sajian Estetik Teror Dunia Futuristik

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Infografik: Farhan Iskandarsyah
Penyunting: Anggino Tambunan