Sepuluh tahun sejak film terakhirnya, The Wind Rises (2013), Hayao Miyazaki kembali menelurkan visi hebatnya dalam The Boy and the Heron. Sang sineas kembali ke alam mimpi dengan fantasi yang mendekati utopia. Namun, ada duka mendalam yang diarungi sang protagonis di sini.
Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli mungkin dua entitas yang takterlepaskan. Berkelana di alam indah dengan percikan bumbu surealis sudah menjadi ciri khas keduanya. Hal ini kembali dimunculkan dalam karya terbarunya, The Boy and the Heron (2023).
Bagian awalfilm terbaru Miyazaki ini mungkin serupa dengan My Neighbor Totoro (1988) ketika keluarga Kasukabe pindah dari kota ke pedesaan karena sang ibu sakit. Lalu, anak-anaknya, Satsuki dan Mei, bertemu makhluk mistis lucu bernama Totoro yang hidup di hutan dekat rumahnya. The Boy and the Heron mengambil langkah yang lebih kelam.
Tokoh utama, Mahito, yang masih berusia 12 tahun kehilangan ibunya, Himi, saat Perang Pasifik tahun 1943. Bersama ayahnya, Shoichi, ia pindah dari Tokyo ke pedesaan. Mahito mulai merasa taknyaman ketika ia menemui ayahnya telah menikah dengan Natsuko yang merupakan adik dari ibunya. Belum lagi ketika Mahito mengetahui Natsuko yang sedang mengandung sehingga dukanya kehilangan ibunya diperumit dengan dirinya yang terusik oleh kehadiran sosok baru.
Di rumah barunya, Mahito menemui burung kuntul berwarna abu-abu yang bisa berbicara dengan dirinya. Lalu, masalah meningkat ketika Natsuko hilang saat berkelana ke dalam hutan. Si burung kuntul pun mengarahkan Mahito ke dalam menara tua milik buyutnya yang bisa mengantarkan ia ke dunia lain, yang sekilas mengingatkan kita pada kisah Chihiro di Spirited Away (2001). Dimulailah petualangan ala Miyazaki/Ghibli ke alam indah nan unik.
Film Terberat Ghibli
Rasanya, memasuki dunia fantasi Miyazaki kita mengharapkan petualangan indah, tetapi di satu sisi mencekam dengan segala kesulitan yang dihadapi oleh karakter utamanya. Walaupun kompleksitas selalu hadir dalam kisah-kisahnya, rasanya The Boy and the Heron ini jadi kisah paling berat. Dalam perihal kekelaman film Ghibli pun hanya kalah dari Grave of the Fireflies (1984) karya Isao Takahata. Kedua film ini sama-sama berlatar sekitar Perang Dunia II, tetapi The Boy and the Heron mengambil arah fantasi mendekati utopia dengan akhiran yang lebih positif.
Dapat dilihat dari film ini Miyazaki benar-benar mengerahkan segala pemikirannya serta kemampuan berceritanya. Obsesi Miyazaki dengan kelamnya pengaruh Perang Dunia II yang lalu bermain ke alam utopia, kemudian bermain tuhan serta ruang dan waktu di alam lain, memasuki kisah dengan kompleksitas berlapis-lapis seperti ini cukup mengejutkan. Pada akhirnya, sisi hiburan terasa sedikit terkikis di The Boy and the Heron ini.
Bagaimanapun, pemandangan yang indah serta kisah-kisah yang taktertebak arahnya–mengikis batas antara realitas dan mimpi–rasanya hal-hal yang memang ingin kita selami lagi. Belum lagi alunan musik indah Joe Hisaishi yang terasa menenangkan dan membahagiakan. Pengalaman-pengalaman cantik ini bisa tuntas kita tunaikan di bioskop kala menonton untuk pertama kalinya. Namun, untuk lebih mengarungi buah pemikiran Miyazaki yang terasa sangat kompleks di sini, rasanya perlu menonton untuk kedua kalinya. Mungkin, saat kita sadar film ini lebih berat dan memelajari simbol-simbolnya terlebih dulu, memahami persatuan mimpi dan realitas, menikmatinya jadi lebih sempurna.
Direksi Seni: Esensi Utama Estetika Film Animasi
Kala membicarakan Ghibli, terutama karya dua pentolannya Hayao Miyazaki dan Isao Takahata, kita taklagi mempertanyakan tentang film animasi yang bisa kita sebut sebagai sinema atau bukan. Jawabannya jelas iya, selain keindahan karyanya, kedua sineas ini kerap menampilkan sisi kemanusiaan yang kerap lebih jernih ketimbang film-film secara umum. Pertanyaan tersebut mungkin sepele, tetapi ini hal yang ingin menjadi progresi Studio Ghibli sebelumnya.
Kita bisa lihat dalam film Ghibli sebelumnya, Earwig and the Witch (2020), yang merupakan buah karya Goro Miyazaki, menghasilkan karya generasi komputer tiga dimensi. Dalam beberapa tahun terakhir, rasanya kita mendapati beberapa film generasi komputer tiga dimensi hanya mengedepankan hiperealitas alih-alih direksi seni yang apik. Namun, The Boy and the Heron yang jadi karya selanjutnya justru kembali ke film animasi tradisional yang digambar langsung.
Beberapa tahun terakhir kita pun melihat film-film animasi liar yang dibuat dengan teknik tradisional ataupun digabungkan dengan generasi komputer. Keliaran gambar komik dengan ledakan-ledakan dari warna-warni generasi komputer pada Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) tentu takkan dilupakan oleh sinema. Film-film animasi independen lainnya pun mulai bersaing dengan gayanya masing-masing, seperti Wolfwalkers (2020) arahan Tomm Moore yang serupa buku bergambar anak yang digerakkan. Pada zaman liar, saat terkikisnya film animasi tiga dimensi normatif, film animasi tradisional layaknya The Boy and the Heron pun menyegarkan. Kita mungkin taklagi haus dengan hiperealisme dari seni tiga dimensi, kala film-film studio besar menghabiskan ratusan juta dolar AS untuk untuk menggenerasi gambar seperti ini. Alhasil, kehadirannya sudah menjemukan. Kita menginginkan estetika yang beresensi dan semua hal ini dapat diraih dengan direksi seni yang konkret layaknya yang ditampilkan Miyazaki di film ini.
Baca juga: Review Film Guillermo del Toro’s Pinocchio (2022)
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan