Review Film Oppenheimer (2023): Ledakan Bom Nolan

0
294
Review Film Oppenheimer (2023): Ledakan Bom Nolan oleh ulasinema

Christopher Nolan—sineas yang kerap menggunakan pendekatan ilmiah dalam karya-karyanya—menyimpan megaledakan pada film teranyarnya: Oppenheimer (2023). Tidak hanya ledakan secara harfiah—seputar bom atom Perang Dunia II—tetapi juga “letusan” sensasi dalam kepala para penonton.

Dengan mengeker kisah di balik peramuan bom atom yang meluluhlantahkan Jepang serta menjadi ujung kisah Perang Dunia II, pada Agustus 1945 silam, kita sudah punya ekspektasi bahwa terma ilmiah akan bertebaran sepanjang film. Namun, meski hal ini dapat menjadi godaan bagi para sineas yang mengapresiasi sisi ilmiah, Nolan tetap tegar: lebih menyoroti pontang-pantingnya Oppenheimer meladeni sergapan intrik politik, multikepentingan beberapa pihak, dan ambisi pribadinya.

Selain itu, dengan mengambil latar sejarah krusial dalam rekaman peradaban kemanusiaan, Nolan sebenarnya tidak perlu membangun ruang dan masa khayalan dalam bercerita. Tantangannya adalah cara ia dapat menyuguhkan kisah yang menakjubkan dengan jalan kisah yang mungkin sudah hinggap di kepala penonton—ledakan itu pasti terjadi cepat atau lambat. Dalam aspek ini, Nolan berhasil menjahit kisah dengan dramatis dan tidak terburu-buru—sensasi ini yang juga kita dapatkan di film perang garapannya, Dunkrik (2017).

Sementara itu, dengan adegan ledakan bom atom sebagai klimaksnya, sepanjang proses meramu film, Nolan tentu perlu mengolase bagian-bagian penting dan menjerat seputar Oppenheimer—yang sebenarnya memiliki banyak celah sudut pandang. Hal ini cukup penting agar ia tidak kehilangan fokus kisah: memasang banyak “sumbu” di dalam kisah. Dalam hal ini, Nolan berhasil mencampur berbagai fakta sejarah ke dalam sajian yang tidak membuat enek dan begah—serupa campuran bumbu dapur yang menyatu satu sama lain dalam porsi yang cukup.

Adapun dalam pengisahan, Nolan memang masyhur dengan pengaplikasian alur kilas-balik. Corak ini pun masih kita dapatkan di film ini. Sebagai pembatasnya, rentang latar masa satu dengan masa lain yang berjarak ditandai dengan layar berwarna hitam-putih dan layar penuh warna. Di samping itu, dengan pilihan alur kilas-balik, Nolan pun mengerami “plot twist” yang ditunggu-tunggu penontonnya—serupa film lawasnya, Inception (2010).

Sementara itu, pada sisi akting, Cillian Murphy—aktor yang sudah bekerja sama dengan Nolan pada  lima film sebelumnya, termasuk trilogi Batman ikoniknya—memegang tanggung jawab akbar pada film ini. Ia mesti menghidupi jisim dan kolam pikir Dr. J. Robert Oppenheimer—fisikawan yang jenius, rapuh, dan problemati serta ilmuwan besar dunia yang kadung tercatat dalam babak sejarah peradaban manusia.

Serupa Oppenheimer yang menjadi dirigen proyek ambisius “bom atom”, Murphy tampil dengan menjanjikan sebagai tokoh sentral proyek ambisius Nolan. Performa unggul yang ia hadirkan dalam kisah ini tentu mustahil terlepas dari kobaran energi Robert Downey Jr. dalam menyalakan tokoh Lewis Strauss—politikus dengan banyak rupa—serta percik Matt Damon dalam menghidupkan tokoh Leslie Groves, pemimpin proyek bom atom yang ruwet. 

Tentu, kehadiran tiga nama besar tersebut—tanpa mengeyampingkan penampilan ciamik dari pemeran lainnya—menjadi magnet pada kisah yang dikemas selama 3 jam ini—waktu yang sebenarnya cukup lama. Namun, nyatanya, kisah ini terasa singkat di tangan Nolan. Secara cemerlang, Nolan menenun kisah yang menjerat dengan “ranjau” kejutan dan ketakjuban di beberapa bagian—yang membuat penonton tetap betah menatap layar lebar.

Beralih pada aspek visual, sineas yang tidak memanfaatkan teknologi CGI pada film-filmnya ini menghadirkan visual-visual metaforis yang magnetispada Oppenheimer. Upaya ini tentu dilakukan Nolan untuk merangsang sensasi, mendramatisasi kisah, dan mengonkretkan cerita. Misalnya, terdapat beberapa adegan yang memperlihatkan pertentangan pada alam pikir Oppenheimer: terdapat visiun gemuruh gegap gempita orang-orang akan keberhasilan bom atom dengan jeritan megaduka di Hiroshima dan Nagasaki. Pun saat adegan “kesaksian”, Oppenheimer tampil dengan telanjang akibat kehidupan privatnya yang dieksploitasi “pihak lawan”.

Sementara itu, bukan ledakan apabila tidak diikuti dengan dentum suara yang mencekam. Aspek bunyi sebagai pembangun emosi juga dihadirkan dengan apik, misalnya sensasi dari suara hentakan kaki pada alas kayu dan senyap pada beberapa momen. Di sisi lain, “suara-suara” moralitas dan kemanusiaan pada para ilmuwan, terutama Oppenheimer, juga memenuhi ruang penafsiran. Pada bom yang meledak, kilatan cahaya mendahului bunyi. Hal ini serupa konsekuensi ledakan mendahului suara “kemanusian” yang baru tiba pada kemudian hari—mengingat akibat yang timbulkan terlampau besar.

Selain itu, Oppenheimer pun muncul sebagai puisi tragedi. Metaforisnya, ketakjuban kita pada api yang membumbung, akhirnya yang membakar kita. Serupa narasi awal kisah, Prometheus yang meminjamkan api pada manusia dihukum Zeus sebab perbuatannya itu. Dalam hal ini, Nolan memang terispirasi dari sebuah buku: American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer karangan Kai Bird dan Martin J Serwin.

Akhirnya, Nolan menggenapi rasa lapar kita—yang dengan tabah ditahan selama beberapa waktu—guna menyantap karya terbarunya. Dengan rumus yang akurat, Oppenheimer “meledak” dengan warna yang jelita, mengerikan, dan samar-samar. Sensasinya pun memaparkan kembali tentang eksistensi manusia. Akhirulkalam, kita berharap Oppenheimer bukan fase puncak dari bentangan karyanya.

Baca juga: Review Film Barbie (2023): Mengkhayalkan Kenyataan

Penulis: Anggino Tambunan
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah