Review Film The Substance (2024): Gelora Horor Tubuh Vulgar

0
9
Review Film The Substance (2024): Gelora Horor Tubuh Vulgar

The Substance (2024) hadir membawa tampilan berbeda dalam genre horor tubuh yang sedang menonjol beberapa tahun terakhir. Film ini berkisah tentang selebritas perempuan yang menyuntikkan zat yang membelah tubuhnya dan melahirkan versi dirinya yang lebih muda. Uniknya, nuansa film ini jauh lebih cerah ketimbang horor tubuh lainnya.

Horor tubuh menjadi salah satu subgenre yang kembali mencuat pada dekade 2020-an. Awal popularitasnya dimulai oleh Julia Ducournau dengan Titane-nya (2021) yang memenangi Palme d’Or di Festival Film Cannes. Filmnya sangat menjijikan, menampilkan seks seorang perempuan gotik dengan mobil hingga melahirkan benda metal bulat berlumuran dengan oli.

Setahun kemudian, sang pionir horor tubuh, David Cronenberg, kembali mengunjungi genre ini dalam Crimes of the Future (2022) dan kembali membuat penonton di Cannes mual. Saat Titane membahas tentang otoritas tubuh perempuan dalam mengandung dan melahirkan, Crimes of the Future melihat tubuh sebagai seni dalam tindak masokis melahirkan candu sekaligus cara untuk bertahan hidup.

Tidak mengejutkan jika horor tubuh digunakan untuk membahas masalah sosial mendalam tentang otoritas tubuh, terutama perempuan. Hal yang provokatif ialah visualisasinya yang menjijikan sebagai citra kondisi mental perempuan saat tubuhnya diobjektifikasi dan diperdagangkan. The Substance (2024) karya Coralie Fargeat melanjutkan pembahasan ini.

Tubuhku Barang Daganganku

Elisabeth Sparkle (Demi Moore) ialah seorang selebritas perempuan yang tergerus zaman. Kariernya menghantam tembok keras ketika ia dipecat dari pekerjaannya sebagai bintang utama dalam acara aerobik. Sebelum dipecat, ia mendengar percakapan bosnya, Harvey, (Dennis Quaid) yang mengolok-olok tubuh bayanya. Mental Elisabeth hancur dan merasa tubuh yang menjadi barang dagangannya telah “bangkrut”.

Elisabeth terperangkap dalam lingkaran setan Hollywood yang menuntut kesempurnaan tubuh perempuan untuk meningkatkan kariernya. Mentalnya terbelenggu akan persepsi bahwa satu-satunya jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya ialah untuk kembali mencapai standar kecantikan absurd dunia hiburan. Ia pun mendapat ajakan khusus untuk mencoba “The Substance” yang menjanjikannya dapat kembali ke tubuh idealnya.

Saat Moore sebagai Elisabeth bercermin melihat banyaknya kerutan di mukanya terasa miris. Sebab, hal yang dialami Elisabeth serupa dengan karier Moore yang menukik tajam usai memasuki usia paruh baya. Sebenarnya miris, bagaimanapun, Moore merupakan sosok yang sempurna untuk memerankan Elisabeth. Walaupun tubuhnya dalam kondisi prima pada usianya, kerutan-kerutannya takbisa dibohongi dan Moore seperti merefleksikan dirinya dalam karakter yang ia perankan.

Saat replika Elisabeth yang diberi nama Sue (Margaret Qualley) hadir, muncul dualisme yang bertentangan dalam otoritas tubuh. Elisabeth sebagai pemilik tubuh utama mewakilkan kehidupan nyata, tetapi dilanda depresi karena kariernya sirna dan kesepian. Sementara itu, Sue menawarkan kondisi prima saat ia dicintai semua orang dengan karier yang lebih mentereng. Namun, Sue yang menganggap Elisabeth hanyalah beban perlahan menggerogoti tubuh tuanya tersebut. Ibarat peribahasa, Sue yang terbang tinggi lupa akan Elisabeth yang jadi daratannya: problem yang kerap terjadi di industri hiburan.

Substansi Kurang Substantif?

Sulit untuk tidak terperangkap dalam tembakan-tembakan indah nan berkelas yang hadir dalam The Substance. Banyak momen-momen epik ala blockbuster yang hadir dan mengundang sorak-sorai. Dalam durasi hampir dua setengah jam, Fargeat mengubah hal-hal menjijikan jadi sajian bergelora. Horor tubuh yang biasanya kelam dan aneh, kini, dengan sentuhan erotis dan musik dansa yang energik, menghadirkan suasana yang jauh lebih cerah dan mudah dicerna.

Namun, di balik semua kostum bergelora yang ajaib ini, rasanya substansi The Substance takterlalu dalam. Momen-momen yang tampil untuk menyinggung glorifikasi seksual perempuan kadang malah terasa berbalik merayakan erotisme negatif tersebut. Hal ini disebabkan oleh momen-momen tersebut hadir dalam durasi yang diperlama.

Bagaimanapun, rasanya pencapaian Fargeat ini perlu dirayakan. Ia menyulap genre yang paling menjijikan menjadi hal yang menyenangkan untuk dilihat. Walaupun sangat vulgar, nuansa cerah filmnya mudah memikat kita. Cara ini mungkin efektif untuk menyampaikan isu-isu mendalam.

Infografik Review Film The Substance (2024): Gelora Horor Tubuh Vulgar

Baca juga: Review Film Longlegs (2024) – Teror dalam Denyut

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan